The world as “truth” see it
(part 1)
Manusia
manapun yang mencoba bersikap baik sepanjang waktu pasti hancur di antara
sejumlah besar manusia yang tidak terlalu baik. Karena itu, seorang pangeran yang
ingin mempertahankan otoritasnya harus mempelajari cara menjadi orang yang
tidak baik dan mempergunakan pengetahuan itu atau tidak menggunakan pengetahuan
itu, sesuai kebutuhan.
THE PRINCE,Niccolo Machiavelli, 1469-1527
Memahami dunia secara utuh adalah sebuah perkara yang harus
selalu dipelajari untuk menjadi manusia yang utuh. Kegagalan kita dalam
memahami dunia hanya akan mengantarkan pada malfungsi posisi “rahmat bagi
seluruh alam” yang diemban di setiap diri seorang muslim.Proses kita dalam
berpikir, mengkaji, memaknai, juga mengkritisi bahasa-bahasa yang kita baca dan
kita sentuh setiap hari melalui perantara kegiatan akademis, organisasi,
media,obrolan, atau pun pesan semesta itulah yang akan membentuk perspektif.
Dalam perspektif pemikiran dan tindakan kita inilah ada
sebuah pengejawantahan dari inti keyakinan juga kapasitas kita dalam memandang
dunia. Memandang dunia melalui perspektif siapa, perspektif apa, perspektif
yang bagaimana, juga perspektif ruang(di mana) dan waktunya (kapan).yang utama
adalah saat kita mampu menempatkan perspektif kebenaran Illahi dalam setiap
perspektif tersebut.
Allah SWT telah berfirman dalam QS Adz-Zaariyat ayat 49 : Dan
segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah. Berpasangan memiliki makna dua hal yang berbeda namun
bersandingan dan juga bermakna dua hal yang berbeda namun berlawanan. Adalah
sebuah kewajiban bagi setiap manusia untuk berjalan dalam sisi yang baik . Namun
harus kita ingat bahwa kebaikan tercipta bukan berdiri sendiri namun ia punya
pasangan meskipun bertolak belakang yaitu keburukan. Dan kita harus mengilmui
kebaikan (baca: Islam) dan juga mengilmui keburukan (baca: musuh Islam). Dalam
tinjauan ini secara lugas bermakna bahwa mutlak kita hidup di atas jalan Islam,
namun berpikir utuh dengan memahami cara kerja Islam dan cara kerja musuh Islam
dengan perspektif kebenaran.Namun jangan
kemudian kita terjebak dalam dialektika bahwa Islam adalah thesis dan
musuh islam adalah antithesisnya ataupun sebaliknya. Sama sekali tidak, karena
jika demikian akan ada synthesis diantara keduanya dan inilah bias yang
seringkali menjadi obyek manipulasi.
Tugas kita adalah untuk menjaga dan mempertahankan otoritas
rahmatanlil’alamin yang diamanahkan pada manusia sebagai khalifah di muka bumi
yang merupakan sebuah peran protagonis narasi agung. Menjadikan Qur’an dan
Hadist Shahih sebagai pedoman bukan perkara ringan. Karena kita punya seteru
abadi yang niscaya, yang akan selalu menggoyah dan menjatuhkan dengan apapun
caranya yang tidak lain dan tidak bukan adalah setan dan iblis beserta derivatnya
dalam golongan jin dan manusia.
Ibnu Sina mengatakan bahwa kita harus memahami definisi dulu
sebelum masuk pada ranah konsepsi. Ya, harus kita definisikan siapa musuh kita
agar kita bisa membuat konsepsi yang utuh tentang bagaimana “kebenaran”
memandang dunia. Karena saat “kebenaran” memandang dunia haruslah dari sisi
yang benar, sementara memandang dari sisi yang benar adalah memandang dari
semua sisi, dan memandang dari semua sisi berarti memandang dari sisi Islam dan
sisi musuh Islam. Saya tidak ragu tentang definisi yang kita miliki mengenai
Islam, tapi yang menjadi persoalan
adalah bagaimana kita mendefinisikan musuh Islam?....
by : –eos-
0 komentar:
Posting Komentar